Senin, 12 Maret 2012

PELAKSANAAN PRINSIP MIRANDA RULE (PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM) DALAM PRAKTEK HUKUM DI BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (recht staats)[1] dan bukan berdasarkan atas kekuasan belaka (maacht staats). Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga yang menyatakan :
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”
Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan Philipus M Hadjhon, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia tidaklah lepas dari ide dasar tentang “Rechtsstaat”.
Syarat – syarat dasar Rechsstaat :
1.      Asas legalitas : setiap tindakan pemerintah harus di dasarkan atas dasar peraturan perundang – undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang – Undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hubungan ini pembentuk Undang - Undang merupakan bagian penting dari Negara Hukum.
2.      Pembagian kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3.      Hak – hak dasar (grondrechten) : hak – hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang- Undang
4.      Pengawasan peradilan  : bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan (rechtmatigheids toetsing)”.[2]
Selanjutnya menurut Ismail Suny mengatakan bahwa Negara Hukum Indonesia memuat unsur – unsur sebagai berikut :
1.      Menjungjung Tinggi Hukum.
2.      Adanya Pembagian Kekuasaan.
3.      Adanya Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia.
4.      Di Mungkinkannya Adanya Peradilan Administrasi.
Dari uraian diatas Nampak jelas bahwa suatu Negara hukum harus melindungi hak asasi setiap warga negaranya, tak terkecuali warga negaranya yang telah melakukan kesalahan. Dalam hal ini tersangka / terdakwa berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak asasinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf  D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf  I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen). Selain itu KUHAP juga turut memberikan pembelaan mengenai hak konstitusional tersangka yakni hak untuk pembelaan secara dini.
Hak pembelaan secara dini adalah hak yang diberikan kepada tersangka / terdakwa untuk didampingi penasehat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.[3]  Hak ini merupakan pengapdosian dari prinsip Miranda principle atau Miranda rule yang berlaku universal di hampir semua Negara yang berdasarkan hukum.
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[4] Di Indonesia pengaturan  mengenai Miranda rule telah diatur kedalam system Hukum Acara Pidana, sebagaimana terdapat dalam pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Seperti apa yang telah disebutkan diatas bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan prinsip Miranda rule adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair / jujur dan manusiawi terhadap diri tersangka / terdakwa, sebab dengan hadirnya penasehat hUkum mendampingi tersangka / terdakwa pada pemeriksaan penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan, berperan melakukan kontrol sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan, dan kekejaman[5] yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses pradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia (Pasal 33 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (4)  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Meskipun sudah diatur dalam hukum positif di Indonesia namun dalam realitanya masalah penerapan Miranda rule selama ini masih sangatlah riskan dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, menurut M. Sofyan Lubis lebih kurang 80% perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih ternyata banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi oleh penasehat  hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115 KUHAP. Pada kenyataannya, terhadap pelanggaran ini pengadilan masih tetap bersikap toleran dengan alasan “melindungi kepentingan umum” dan tidak sedikit hakim sering “menutup mata” terhadap pelanggaran pasal 56 ayat (1) KUHAP ini.

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hukum positif Indonesia mengatur mengenai  penerapan  prinsip Miranda rule ?
2.      Bagaimana pelaksanaan prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali ?

1.3.            Tinjauan Pustaka
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[6]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Miranda rule adalah hak tersangka / terdakwa untuk memperoleh penasehat hukum / bantuan hukum. Ketentuan ini kemudian diakomodasi kedalam berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia, antara lain : Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentan hak Asasi Manusia (diatur dalam Pasal 5 ayat (2), dan pasal 18 ayat (4)), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (diatur dalam Bab VII : Pasal 69 sampai dengan Pasal 74), Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (diatur dalam Bab VI : Pasal 22 ayat (1) dan (2)), dan juga Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (diatur dalam Bab XI : Pasal 56 sampai dengan Pasal 57), serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatnnya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP), sedangkan terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15).
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seorang tersangka / terdakwa tidak sebegitu saja dapat diperlakukan sebagai objek pemerasan, penganiayaan, maupun dicopoti dan ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya. Sebagai perisai untuk membela dan mempertahankan hak asasi dan harkat martabat kemanusiaan tersangka / terdakwa KUHAP telah memberikan seperangkat hak bagi tersangka / terdakwa yang wajib diberitahukan, hak tersebut berupa hak untuk didampingi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan guna kepentingan pembelaan atas dirinya.
Bantuan hukum adalah pelayanan hukum (legal service) yang diberikan oleh Penasehat Hukum dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi tersangka / terdakwa sejak ia ditangkap / ditahan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Jadi “yang dibela dan diberi perlindungan hukum bukan kesalahan tersangka / terdakwa”, melainkan “hak-hak asasi dari tersangka / terdakwa agar terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum”.[7] Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan UUKK (Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) pemberian bantuan hukum hanya dapat diberikan oleh Penasehat Hukum, dan tidak setiap orang dapat bertindak sebagai Penasehat Hukum.[8]
Penasehat Hukum adalah orang yang mempunyai pekerjaan memberikan nasehat hukum.[9] Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13 KUHAP Penasehat Hukum adalah seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.            Analisis
Suatu Negara hukum, baik yang berkembang di Negara-negara Eropa Continental maupun Negara-negara Anglo Saxon, memiliki “basic requirement”, pengakuan jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung tinggi. hak-hak dasar ini pula juga dimiliki oleh tersangka / terdakwa sebagaimana perlindungan hak yang diberikan oleh pasal 56 ayat (1) KUHAP yang lebih dikenal  dengan hak konstitusional dari tersangka / terdakwa.
Di Indonesia, hak konstitusional tersangka / terdakwa merupakan hasil dari pengadopsian prinsip Miranda rule yang berkembang di Negara Amerika Serikat yang berawal dari kasus Ernesto Miranda, selain itu pengadopsian ini juga dilatar belakangi oleh turut sertanya Indonesia dalam meratifikasi “Universal Declaration of Human Right”. Sebagai Negara hukum, terlebih sebagai Negara yang ikut dalam meratifikasi Universal Declaration of Human Right, maka Indonesia berkewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional tersangka / terdakwa tersebut kedalam hukum positif / peraturan perundang-undangan.
Namun relitanya di lapangan bahwa perlindungan terhadap prinsip Miranda rule tersebut hanya bersifat formalitas belaka, terbukti dalam praktek hukum di Bali banyak perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih ternyata banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi oleh penasehat  hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115 KUHAP.
Hal ini tidaklah sejalan dengan apa yang di harapkan oleh para pembentuk KUHAP, yakni memberikan perlindungan bagi semua orang yang disangka / di dakwa melalui seperngakat hak-hak konstitusionalnya dalam hal ini hak untuk didampingi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan.

2.1.1.      Pengaturan mengenai  penerapan  prinsip Miranda rule dalam hukum positif Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penerapan dan perlindungan terhadap prinsip Miranda rule dalam hukum positif di Indonesia telah diatur kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut : 
1.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 
o   Hak tersangka guna kepentingan pembelaannya untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum (Pasal 54) ;
o   Hak tersangka untuk memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 55) ;
o   Hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam hal tesangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih tidak mempunyai penashat hukumnya  sendiri (Pasal 56 ayat (1)) ;
o   Hak tersangka untuk mendapat bantuan  hukum  secara  cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2)).
2.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; [10]
o   Hak untuk dianggap sama didepan hukum (Pasal 17 UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif (Pasal 5 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil ;
o   Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (Pasal 18 ayat (1) UU HAM) ;
o   Hak untuk dituntut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 18 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka jika terjadi perubahan aturan hukum (Pasal 18 ayat (3) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat (4) UU HAM) ;
o   Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 18 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak untuk tidak dituntut untu kedua kalinya dalam kasus yang sama (Pasal 18 ayat (5) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat (1) UU HAM).
3.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
o   Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 22 ayat (1) UU Advokat).
§  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
o   Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal 56 ayat (1) UU KK) ;
o   Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum (Pasal 57 ayat (1) UU KK).
Namun perlu ditelaah kembali bahwa ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP menurut Frans Hendra Winata mengandung berbagai permasalahan  karena “meski hak untuk mendapatkan bantuan ini terkait sangat erat dengan tercapainya suatu proses hukum yang adil dan guna menghindari terjadinya proses yang sewenang-wenang, namun ternyata tidak semua anggota masyarakat dapat menikmatinya, terutama yang miskin, sebab mereka tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat profesional”.[11]
Jika tinjau secara tegas (strict) dan imperatife pasal 56 ayat (1) KUHP mengandung berbagai aspek permasalahan  hukum,  antara lain :
1.      Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
Setiap tersangka / terdakwa berhak di damping penasehat hukum dalam rangka tingkat pemeriksaan, hal ini sesuai dengan deklarasi universal HAM yang menegaskan hadirnya Penasehat Hukum mendampingi tersangka / terdakwa merupakan nilai inherent pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hal ini bertentangan dengan nilai HAM.
2.      Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pidana semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban dari pejabat yang bertugas, apabila tindak pidana yang dituduhkan / didakwakan :
o   Diancam dengan pidana mati / 15 tahun ; atau
o   Bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum, maka pejabat yang bersangkutan dalam semua tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
3.      Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule. Apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan atau persidangan tersangka / terdakwa tidak didampingi penasehat hukum maka sesuai dengan asas Miranda rule, pemeriksaan tersebut tidak sah / batal demi hukum (null and void). karena bertentangan dengan hukum acara (undue process) ; Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 365 (4) KUHP.
Dari berbagai peraturan yang ada, dapat ditarik maksud dari pengaturan hukum positif Indonesia mengenai prinsip Miranda rule yakni seorang yang telah disangka / didakwa melakukan kesalahan mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum, hal ini  dianggap perlu karena tersangka / terdakwa wajib diberi perlindungan yang sewajarnya.

2.1.2.      Pelaksanaan prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali.
Di dalam praktek / realita di lapangan bahwa pelaksanaa prinsip Miranda Rule tidak seperti yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang maupun oleh hukum positif Indonesia, pelanggaran terhadap prinsip Miranda rule di Indonesia sering dilakukan oleh para penegak hukum. Diantaranya seperti :[12]
1.      Di Kepolisian / Instansi Penyidikan
o   Banyak oknum menangkap tersangka dan kemudian di tempat kejadian tersebut tersangka langsung ditanya / diinterogasi, tanpa terlebih dahulu mengingatkan akan hak-haknya sebagai tersangka (Miranda warning) ;
o   Dengan dalih tersangka tidak punya uang dan hak asasi tersangka, banyak oknum polisi menganjurkan supaya tersangka tidak usah menggunakan Penasehat Hukum, dan tersangka dikondisikan sedemikian rupa dengan membuatkannya surat pernytaan tidak bersedia didampingi Penasehat Hukum, dan tidak sedikit dari kalangan penyidik beranggapan bahwa dengan adanya pernyataan dari tersangka yang tidak bersedia didampingi Penasehat Hukum merupakan hak asasi tersangka sehingga penyidik tidak merasa perlu lagi menunaikan kewajibannya untuk menunjuk Penasehat Hukum bagi tersangka sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
o   Dengan dalih untuk mempelancar proses penyidikan, banyak oknum polisi berupaya agar setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan Penasehat Hukum / advokat ;
o   Dengan dalih tidak ada Penasehat Hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, maka banyak penyidik mengabaikan kewajiabnnya seperti diamanakan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
2.      Di Tingkat Kejaksaan
o   Dengan dalih sudah tidak dilakukan pemeriksaan lagi, maka banyak oknum jaksa penuntut umum tidak perlu menunjuk penasehat hukum guna mendampingi tersangka ;
o   Dengan dalih sudah ada surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasehat hukum yang di buat di tingkat penyidikan maka ketentuan pasal 56 ayat (1) dianggap sudah terpenuhi ;
3.      Di Tingkat Sidang Pengadilan
o   Dengan dalih masih terjadinya kontroversi perihal penerapan pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hakim bebas untuk mengikuti pendapat yang mana saja ;
o   Dengan dalih undang-undang belum mengatur secara tegas, maka hakim berwenang untuk memutuskan sesuai dengan hati nuraninya ;
o   Dengan dalih demi kepentingan umum, maka hak-hak terdakwa dapat dikesampingkan ;
o   Tidak ada anggaran khusus dari institusi Pengadilan yang bersangkutan untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi terdakwa ;
o   Hakim menggunakan haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Hal senada juga dikatakan oleh Warsa T. Bhuwana[13] sebagai Advokat senior di Bali, pelanggaran terhadap prinsip Miranda rule yang terjadi di Bali adalah sebagai berikut :
1.      Di Kepolisian / Instansi Penyidikan
o   Beberapa oknum penyidik sering mengiintograsi tersangka tanpa terlebih dahulu diberitahukan  mengenai hak-haknya untuk di damping penasehat hukum hingga statusnya ditetapkan sebagai tersangka kemudian langsung ditahan (Miranda warning) ;
o   Beberapa oknum Polisi (dalam hal ini penyidik) memandang dalam menangani kasus pidana justru apriori untuk di damping penasehat hukum, sehingga menyarankan tersangka / terdakwa agar tidak menggunakan penasehat hukum, dengan dalih penasehat hukum di anggap tidak membela kepentingan tersangka / terdakwa karena sifatnya yang pasif dalam proses penyidikan ;
o   Beberapa oknum Penyidik sering menentukan sendiri penasehat hukum untuk mendampingi tersangka / terdakwa agar penyidik bisa bermain dengan penasehat hukum yang ditunjuk penyidik untuk memeras tersangka / terdakwa melalui pasal-pasal yang akan digunakan menjerat terdakwa / terdakwa ;
o   Penasehat hukum tidak dipandang sebagai mitra yang membantu mempelancarkan proses penyidikan dalam upaya untuk mencari kebenaraan materiil.
2.      Di Tingkat Kejaksaan
o   Beberapa oknum penyidik kejaksaan sering mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh tersangka (dalam  hal ini hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum), terutama dalam kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh kejaksaan (Miranda warning).
 3.      Di Tingkat Sidang Pengadilan
o   Hakim menggunakan  haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara ;
o   Demi kepentingan umum hakim sering mengkesampingkan hak terdakwa.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut manurut Advokat Warsa T. Bhuwana umumnya terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :
o   Kurangnya pengetahuan penyidik tentang maksud dan tujuan penyidikan serta hak-hak tersangka / adanya kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
o   Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penegak hukum, “ada kepentingan”.
Sehingga berdasarkan data-data yang penulis dapatkan, bahwa pelaksanaan prinsip Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan apalagi sempurna. Hal tersebut diakibatkan karena miskinnya moral para penegak hukum dalam menghormati prinsip Miranda rule.

BAB III
PENUTUP

3.1.              Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan yaitu:
o   Prinsip Miranda rule yang berlaku dalam hukum positf di Indonesia baru mengakomodasi dua buah prinsip, yaitu yang pertama prinsip bahwa seorang tersangka /terdakwa berhak mendapat bantuan hukum, dan yang kedua jika tersangka tidak mampu maka penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
o   Pelaksanaan Prinsip Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan diakibatkan dari beberapa faktor, antara lain :
-          Faktor Penegak Hukum : Kurangnya kesadaran penyidik / penegak hukum tentang prinsip Miranda rule / pendampingan penasehat hukum ;
-          Faktor Masyarakat : Masih minimnya pengetahuan masyarakat (dalam hal ini tersangka / terdakwa) tentang hukum khususnya mengenai prinsip Miranda rule.



[1] Rechtsstaat merupakan konsep Negara hukum yang sama dengan welvaarstaat. Welvaarstaat disebut juga social-service-state ialah Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dengan melalui saluran hukum atau tidak melalui saluran hukum tetapi tidak secara sewenang-wenang. Djokosutomo, Kuliah Ilmu Negara, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 52-53.

[2] Philipus.M Hadjhon,Negara Hukum dan Hak – hak Dasar ( Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga 1995), Hal. 4
[3] M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permaalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan: Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 2

[4] M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan:Jangan samapai Anda Menjadi Korban Peradilan, Jakarta, PT. Pusaka Buku, Hal. 15.

[5] M. Yahya Harahap, op. cit. Hal. 339
[6] M. Sofyan Lubis, loc. cit.

[7] H.M.A. Kuffal, 2002, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, Malang, UMM Press, Hal. 89.

[8] Ibid, hal. 89-90.

[9]M. Sofyan Lubis, op. cit. Hal. 3.

[10] Ibid, Hal. 11.

[11] Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta, Gramedia, Hal. 63.
[12] M. Sofyan Lubis, op. cit., Hal. 41-43.

[13] Wawancara penulis dengan Advokat Warsa T. Bhuwana pada tanggal 20 Desember 2010, di Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Warsa T. Bhuwana & Associates, Jln. Sekar Tunjung  XII-167 Gatot Subroto Timur, Kota Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar