BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (recht
staats)[1]
dan bukan berdasarkan atas kekuasan belaka (maacht staats). Hal tersebut
secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga yang menyatakan :
“Negara Indonesia adalah Negara
hukum”
Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan Philipus M
Hadjhon, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia tidaklah lepas dari ide dasar
tentang “Rechtsstaat”.
Syarat – syarat dasar Rechsstaat :
1. Asas legalitas : setiap tindakan
pemerintah harus di dasarkan atas dasar peraturan perundang – undangan (wettelijke
grondslag). Dengan landasan ini, Undang – Undang dalam arti formal dan UUD
sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hubungan ini
pembentuk Undang - Undang merupakan bagian penting dari Negara Hukum.
2. Pembagian kekuasaan : syarat ini
mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu
tangan.
3. Hak – hak dasar (grondrechten)
: hak – hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan
sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang- Undang
4. Pengawasan peradilan : bagi
rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan
tindakan pemerintahan (rechtmatigheids toetsing)”.[2]
Selanjutnya menurut Ismail Suny mengatakan bahwa Negara
Hukum Indonesia memuat unsur – unsur sebagai berikut :
1. Menjungjung Tinggi Hukum.
2. Adanya Pembagian Kekuasaan.
3. Adanya Perlindungan Terhadap Hak
Asasi Manusia.
4. Di Mungkinkannya Adanya Peradilan
Administrasi.
Dari uraian diatas Nampak jelas bahwa suatu Negara hukum
harus melindungi hak asasi setiap warga negaranya, tak terkecuali warga
negaranya yang telah melakukan kesalahan. Dalam hal ini tersangka / terdakwa
berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak asasinya (Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan Pasal 28
Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen). Selain itu KUHAP juga
turut memberikan pembelaan mengenai hak konstitusional tersangka yakni hak
untuk pembelaan secara dini.
Hak pembelaan secara dini adalah hak yang diberikan kepada
tersangka / terdakwa untuk didampingi penasehat hukum dalam setiap tingkat
pemeriksaan.[3]
Hak ini merupakan pengapdosian dari prinsip Miranda principle
atau Miranda rule yang berlaku universal di hampir semua Negara yang
berdasarkan hukum.
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur
tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana /
kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[4]
Di Indonesia pengaturan mengenai Miranda rule telah diatur kedalam
system Hukum Acara Pidana, sebagaimana terdapat dalam pasal 56 ayat (1) UU No.
8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Seperti apa yang telah disebutkan diatas bahwa tujuan yang
ingin dicapai dalam penerapan prinsip Miranda rule adalah agar terjamin
pemeriksaan yang fair / jujur dan manusiawi terhadap diri tersangka / terdakwa,
sebab dengan hadirnya penasehat hUkum mendampingi tersangka / terdakwa pada
pemeriksaan penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan, berperan melakukan
kontrol sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan, dan
kekejaman[5]
yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses pradilan yang mengakibatkan
terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia (Pasal 33 ayat (1), Pasal 3,
Pasal 5 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (4) UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Meskipun sudah diatur dalam hukum positif di Indonesia namun
dalam realitanya masalah penerapan Miranda rule selama ini masih sangatlah
riskan dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, menurut M. Sofyan Lubis
lebih kurang 80% perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan pasal 56 ayat
(1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa didampingi oleh penasehat hukum.
Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih ternyata
banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi oleh penasehat
hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115 KUHAP. Pada kenyataannya, terhadap
pelanggaran ini pengadilan masih tetap bersikap toleran dengan alasan
“melindungi kepentingan umum” dan tidak sedikit hakim sering “menutup mata”
terhadap pelanggaran pasal 56 ayat (1) KUHAP ini.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
hukum positif Indonesia mengatur mengenai penerapan prinsip Miranda
rule ?
2.
Bagaimana
pelaksanaan prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali ?
1.3.
Tinjauan
Pustaka
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur
tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana /
kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[6]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Miranda rule
adalah hak tersangka / terdakwa untuk memperoleh penasehat hukum / bantuan
hukum. Ketentuan ini kemudian diakomodasi kedalam berbagai ketentuan
perundang-undangan di Indonesia, antara lain : Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentan hak Asasi Manusia (diatur dalam Pasal 5 ayat (2), dan pasal 18 ayat
(4)), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (diatur dalam Bab VII : Pasal 69
sampai dengan Pasal 74), Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(diatur dalam Bab VI : Pasal 22 ayat (1) dan (2)), dan juga Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (diatur dalam Bab XI : Pasal 56
sampai dengan Pasal 57), serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatnnya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP), sedangkan terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
pengadilan (Pasal 1 angka 15).
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
seorang tersangka / terdakwa tidak sebegitu saja dapat diperlakukan sebagai
objek pemerasan, penganiayaan, maupun dicopoti dan ditanggali hak asasi dan
harkat martabat kemanusiaannya. Sebagai perisai untuk membela dan
mempertahankan hak asasi dan harkat martabat kemanusiaan tersangka / terdakwa
KUHAP telah memberikan seperangkat hak bagi tersangka / terdakwa yang wajib
diberitahukan, hak tersebut berupa hak untuk didampingi penasehat hukum dan
mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan guna kepentingan
pembelaan atas dirinya.
Bantuan hukum adalah pelayanan hukum (legal
service) yang diberikan oleh Penasehat Hukum dalam upaya memberikan
perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi tersangka / terdakwa sejak
ia ditangkap / ditahan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Jadi “yang
dibela dan diberi perlindungan hukum bukan kesalahan tersangka / terdakwa”,
melainkan “hak-hak asasi dari tersangka / terdakwa agar terhindar dari
perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat
penegak hukum”.[7]
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) dan UUKK (Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) pemberian bantuan hukum
hanya dapat diberikan oleh Penasehat Hukum, dan tidak setiap orang dapat
bertindak sebagai Penasehat Hukum.[8]
Penasehat Hukum adalah orang yang mempunyai pekerjaan
memberikan nasehat hukum.[9]
Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13 KUHAP Penasehat Hukum
adalah seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar
undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Analisis
Suatu Negara hukum, baik yang berkembang di Negara-negara
Eropa Continental maupun Negara-negara Anglo Saxon, memiliki “basic
requirement”, pengakuan jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung
tinggi. hak-hak dasar ini pula juga dimiliki oleh tersangka / terdakwa
sebagaimana perlindungan hak yang diberikan oleh pasal 56 ayat (1) KUHAP yang
lebih dikenal dengan hak konstitusional dari tersangka / terdakwa.
Di Indonesia, hak konstitusional tersangka / terdakwa
merupakan hasil dari pengadopsian prinsip Miranda rule yang berkembang
di Negara Amerika Serikat yang berawal dari kasus Ernesto Miranda,
selain itu pengadopsian ini juga dilatar belakangi oleh turut sertanya
Indonesia dalam meratifikasi “Universal Declaration of Human Right”. Sebagai
Negara hukum, terlebih sebagai Negara yang ikut dalam meratifikasi Universal
Declaration of Human Right, maka Indonesia berkewajiban untuk melindungi
hak-hak konstitusional tersangka / terdakwa tersebut kedalam hukum positif /
peraturan perundang-undangan.
Namun relitanya di lapangan bahwa perlindungan terhadap
prinsip Miranda rule tersebut hanya bersifat formalitas belaka, terbukti
dalam praktek hukum di Bali banyak perkara yang termasuk kategori yang
disyaratkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa
didampingi oleh penasehat hukum. Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya
5 (lima) tahun atau lebih ternyata banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa
didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115
KUHAP.
Hal ini tidaklah sejalan dengan apa yang di harapkan oleh
para pembentuk KUHAP, yakni memberikan perlindungan bagi semua orang yang
disangka / di dakwa melalui seperngakat hak-hak konstitusionalnya dalam hal ini
hak untuk didampingi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum pada semua
tingkat pemeriksaan.
2.1.1.
Pengaturan
mengenai penerapan prinsip Miranda rule dalam hukum
positif Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penerapan dan
perlindungan terhadap prinsip Miranda rule dalam hukum positif di
Indonesia telah diatur kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu
sebagai berikut :
1.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
o
Hak
tersangka guna kepentingan pembelaannya untuk mendapat bantuan hukum dari
penasehat hukum (Pasal 54) ;
o
Hak
tersangka untuk memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 55) ;
o
Hak
tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam hal tesangka melakukan tindak
pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih
atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima belas tahun
atau lebih tidak mempunyai penashat hukumnya sendiri (Pasal 56 ayat (1))
;
o
Hak
tersangka untuk mendapat bantuan hukum secara cuma-cuma
(Pasal 56 ayat (2)).
2.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; [10]
o
Hak
untuk dianggap sama didepan hukum (Pasal 17 UU HAM) ;
o
Hak
untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang
obyektif (Pasal 5 ayat (2) UU HAM) ;
o
Hak
memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil ;
o
Hak
untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (Pasal 18 ayat (1)
UU HAM) ;
o
Hak
untuk dituntut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 18
ayat (2) UU HAM) ;
o
Hak
untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka jika
terjadi perubahan aturan hukum (Pasal 18 ayat (3) UU HAM) ;
o
Hak
untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat (4) UU HAM) ;
o
Hak
untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya
(Pasal 18 ayat (2) UU HAM) ;
o
Hak
untuk tidak dituntut untu kedua kalinya dalam kasus yang sama (Pasal 18 ayat
(5) UU HAM) ;
o
Hak
untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat
(1) UU HAM).
3.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
o
Advokat
wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang
tidak mampu (Pasal 22 ayat (1) UU Advokat).
§ Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ;
o
Setiap
orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal 56 ayat
(1) UU KK) ;
o
Pada
setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan
yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum (Pasal 57 ayat (1) UU KK).
Namun perlu ditelaah kembali bahwa ketentuan pasal 56 ayat
(1) KUHAP menurut Frans Hendra Winata mengandung berbagai permasalahan
karena “meski hak untuk mendapatkan bantuan ini terkait sangat erat
dengan tercapainya suatu proses hukum yang adil dan guna menghindari terjadinya
proses yang sewenang-wenang, namun ternyata tidak semua anggota masyarakat
dapat menikmatinya, terutama yang miskin, sebab mereka tidak mampu membayar
jasa hukum dan pembelaan seorang advokat profesional”.[11]
Jika tinjau secara tegas (strict) dan imperatife
pasal 56 ayat (1) KUHP mengandung berbagai aspek permasalahan hukum,
antara lain :
1.
Mengandung
aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
Setiap tersangka / terdakwa berhak
di damping penasehat hukum dalam rangka tingkat pemeriksaan, hal ini sesuai
dengan deklarasi universal HAM yang menegaskan hadirnya Penasehat Hukum
mendampingi tersangka / terdakwa merupakan nilai inherent pada diri manusia.
Dengan demikian mengabaikan hal ini bertentangan dengan nilai HAM.
2.
Pemenuhan
hak ini dalam proses peradilan pidana semua tingkat pemeriksaan, menjadi
kewajiban dari pejabat yang bertugas, apabila tindak pidana yang dituduhkan /
didakwakan :
o
Diancam
dengan pidana mati / 15 tahun ; atau
o
Bagi
yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, yang tidak
mempunyai penasehat hukum, maka pejabat yang bersangkutan dalam semua tingkat
pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
3.
Pasal
56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi
salah satu patokan Miranda Rule. Apabila pemeriksaan penyidikan,
penuntutan atau persidangan tersangka / terdakwa tidak didampingi penasehat hukum
maka sesuai dengan asas Miranda rule, pemeriksaan tersebut tidak sah /
batal demi hukum (null and void). karena bertentangan dengan hukum acara
(undue process) ; Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 365 (4)
KUHP.
Dari berbagai peraturan yang ada, dapat ditarik maksud dari
pengaturan hukum positif Indonesia mengenai prinsip Miranda rule yakni seorang
yang telah disangka / didakwa melakukan kesalahan mempunyai hak untuk
memperoleh bantuan hukum, hal ini dianggap perlu karena tersangka / terdakwa
wajib diberi perlindungan yang sewajarnya.
2.1.2.
Pelaksanaan
prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali.
Di dalam praktek / realita di lapangan bahwa pelaksanaa
prinsip Miranda Rule tidak seperti yang diharapkan oleh pembentuk
undang-undang maupun oleh hukum positif Indonesia, pelanggaran terhadap prinsip
Miranda rule di Indonesia sering dilakukan oleh para penegak hukum.
Diantaranya seperti :[12]
1.
Di
Kepolisian / Instansi Penyidikan
o
Banyak
oknum menangkap tersangka dan kemudian di tempat kejadian tersebut tersangka
langsung ditanya / diinterogasi, tanpa terlebih dahulu mengingatkan akan
hak-haknya sebagai tersangka (Miranda warning) ;
o
Dengan
dalih tersangka tidak punya uang dan hak asasi tersangka, banyak oknum polisi
menganjurkan supaya tersangka tidak usah menggunakan Penasehat Hukum, dan
tersangka dikondisikan sedemikian rupa dengan membuatkannya surat pernytaan
tidak bersedia didampingi Penasehat Hukum, dan tidak sedikit dari kalangan
penyidik beranggapan bahwa dengan adanya pernyataan dari tersangka yang tidak
bersedia didampingi Penasehat Hukum merupakan hak asasi tersangka sehingga
penyidik tidak merasa perlu lagi menunaikan kewajibannya untuk menunjuk
Penasehat Hukum bagi tersangka sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 56 ayat (1)
KUHAP ;
o
Dengan
dalih untuk mempelancar proses penyidikan, banyak oknum polisi berupaya agar
setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan Penasehat Hukum / advokat ;
o
Dengan
dalih tidak ada Penasehat Hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk
mendampingi tersangka, maka banyak penyidik mengabaikan kewajiabnnya seperti
diamanakan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
2.
Di
Tingkat Kejaksaan
o
Dengan
dalih sudah tidak dilakukan pemeriksaan lagi, maka banyak oknum jaksa penuntut
umum tidak perlu menunjuk penasehat hukum guna mendampingi tersangka ;
o
Dengan
dalih sudah ada surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasehat hukum yang
di buat di tingkat penyidikan maka ketentuan pasal 56 ayat (1) dianggap sudah
terpenuhi ;
3.
Di
Tingkat Sidang Pengadilan
o
Dengan
dalih masih terjadinya kontroversi perihal penerapan pasal 56 ayat (1) KUHAP,
maka hakim bebas untuk mengikuti pendapat yang mana saja ;
o
Dengan
dalih undang-undang belum mengatur secara tegas, maka hakim berwenang untuk
memutuskan sesuai dengan hati nuraninya ;
o
Dengan
dalih demi kepentingan umum, maka hak-hak terdakwa dapat dikesampingkan ;
o
Tidak
ada anggaran khusus dari institusi Pengadilan yang bersangkutan untuk
menyediakan Penasehat Hukum bagi terdakwa ;
o
Hakim
menggunakan haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas kelalaiannya
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Hal senada juga dikatakan oleh Warsa T. Bhuwana[13]
sebagai Advokat senior di Bali, pelanggaran terhadap prinsip Miranda rule
yang terjadi di Bali adalah sebagai berikut :
1.
Di
Kepolisian / Instansi Penyidikan
o
Beberapa
oknum penyidik sering mengiintograsi tersangka tanpa terlebih dahulu
diberitahukan mengenai hak-haknya untuk di damping penasehat hukum hingga
statusnya ditetapkan sebagai tersangka kemudian langsung ditahan (Miranda
warning) ;
o
Beberapa
oknum Polisi (dalam hal ini penyidik) memandang dalam menangani kasus pidana
justru apriori untuk di damping penasehat hukum, sehingga menyarankan tersangka
/ terdakwa agar tidak menggunakan penasehat hukum, dengan dalih penasehat hukum
di anggap tidak membela kepentingan tersangka / terdakwa karena sifatnya yang
pasif dalam proses penyidikan ;
o
Beberapa
oknum Penyidik sering menentukan sendiri penasehat hukum untuk mendampingi
tersangka / terdakwa agar penyidik bisa bermain dengan penasehat hukum yang
ditunjuk penyidik untuk memeras tersangka / terdakwa melalui pasal-pasal yang
akan digunakan menjerat terdakwa / terdakwa ;
o
Penasehat
hukum tidak dipandang sebagai mitra yang membantu mempelancarkan proses
penyidikan dalam upaya untuk mencari kebenaraan materiil.
2.
Di
Tingkat Kejaksaan
o
Beberapa
oknum penyidik kejaksaan sering mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima
oleh tersangka (dalam hal ini hak tersangka untuk didampingi oleh
penasehat hukum), terutama dalam kasus tindak pidana korupsi yang ditangani
oleh kejaksaan (Miranda warning).
3.
Di
Tingkat Sidang Pengadilan
o
Hakim
menggunakan haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas
kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara ;
o
Demi
kepentingan umum hakim sering mengkesampingkan hak terdakwa.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut manurut Advokat Warsa T.
Bhuwana umumnya terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :
o
Kurangnya
pengetahuan penyidik tentang maksud dan tujuan penyidikan serta hak-hak
tersangka / adanya kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
o
Adanya
unsur kesengajaan dari oknum pejabat penegak hukum, “ada kepentingan”.
Sehingga berdasarkan data-data yang penulis dapatkan, bahwa
pelaksanaan prinsip Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan apalagi
sempurna. Hal tersebut diakibatkan karena miskinnya moral para penegak hukum
dalam menghormati prinsip Miranda rule.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan yaitu:
o
Prinsip Miranda
rule yang berlaku dalam hukum positf di Indonesia baru mengakomodasi dua
buah prinsip, yaitu yang pertama prinsip bahwa seorang tersangka /terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum, dan yang kedua jika tersangka tidak mampu maka
penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
o
Pelaksanaan Prinsip
Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan diakibatkan dari beberapa
faktor, antara lain :
-
Faktor Penegak
Hukum : Kurangnya kesadaran penyidik / penegak hukum tentang prinsip Miranda
rule / pendampingan penasehat hukum ;
-
Faktor Masyarakat :
Masih minimnya pengetahuan masyarakat (dalam hal ini tersangka / terdakwa)
tentang hukum khususnya mengenai prinsip Miranda rule.
[1] Rechtsstaat
merupakan konsep Negara hukum yang sama dengan welvaarstaat. Welvaarstaat
disebut juga social-service-state ialah Negara yang bertujuan untuk
menyelenggarakan kepentingan umum dengan melalui saluran hukum atau tidak
melalui saluran hukum tetapi tidak secara sewenang-wenang. Djokosutomo, Kuliah
Ilmu Negara, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 52-53.
[2] Philipus.M
Hadjhon,Negara Hukum dan Hak – hak Dasar ( Surabaya : Fakultas Hukum
Universitas Airlangga 1995), Hal. 4
[3] M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permaalahan dan
Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan: Edisi Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, Hal. 2
[4] M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip Miranda Rule: Hak
Tersangka Sebelum Pemeriksaan:Jangan samapai Anda Menjadi Korban Peradilan,
Jakarta, PT. Pusaka Buku, Hal. 15.
[9]M. Sofyan Lubis, op. cit. Hal. 3.
[11] Frans
Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Jakarta, Gramedia, Hal. 63.
[13] Wawancara penulis dengan Advokat Warsa T. Bhuwana pada
tanggal 20 Desember 2010, di Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Warsa T.
Bhuwana & Associates, Jln. Sekar Tunjung XII-167 Gatot Subroto
Timur, Kota Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar